Toxic Femininity Adalah Bukti Bahwa Kesetaraan Gender Hanyalah Omong Kosong Belaka
Sejak zaman Siti Nurbaya perempuan selalu didiskriminasi. Lawan arus dikit aja dikatain ini itu. Melawan kodrat lah, durhaka lah, atau yang lebih parah lagi dibilang sok-sokan beda dari yang lain. Pandangan orang-orang terhadap perempuan seolah-olah harus 'seragam', padahal setiap orang punya jalan yang beda. Akhirnya, perempuan-perempuan yang terpaksa nurut akan mempunyai dua kemungkinan. Pertama, mewarisi kembali pandangan orang-orang yang masih super duper kuno ini. Kedua, mendukung anak-anak perempuannya kelak untuk bisa bebas sebebas-bebasnya. Tapi, ya cuma sedikit dari mereka yang berani melawan arus dan bersuara.
Yang lebih parahnya lagi adalah pandangan kuno ini terus menerus diwariskan dan dianggap lumrah. Mereka yang melawan arus sering kali terpojok dan merasa diasingkan. Semua hal yang membuat mereka terpojok dan terasing ini datang dari sebuah "Toxic Femininity". Kalau perempuan datang ke acara nikahan sodara atau temennya pasti selalu ditanya 'kapan nyusul?'. Selalu begitu, seolah-olah udah ada pesan template di otak orang yang banyak tanya ini. Emang sih laki-laki juga pasti pernah atau bahkan sering berada di situasi tersebut, bedanya mereka gak akan ambil pusing karena lingkungan sekitarnya yang 'bersahabat'. Kalau perempuan? Setelah ditanya begitu pasti ada rasa malu, kesel, dan insecure. Ini semua terjadi karena faktor pemikiran kuno tadi.
Sekarang udah banyak perempuan yang sadar akan pentingnya pendidikan tinggi, mulai banyak yang kuliah dan berkarir dalam berbagai bidang. Tapi lagi-lagi lingkungan di sekitarnya seolah-olah memandang bahwa keputusan keren ini hina. "buat apa sekolah tinggi-tinggi? Ujung-ujungnya juga balik ke dapur kan?" atau "jangan lama-lama ngejar karir, nanti telat nikah lho." perempuan selalu serba salah. Punya karir cemerlang juga pasti diomongin, atau ditakut-takutin kalau nanti laki-laki yang mau sama dia jadi minder karena beda strata sosialnya. Sedangkan laki-laki, pernah gak digituin? Enggak. Justru laki-laki yang kerja kantoran, yang pergi pagi pulang sore dinilai keren dan punya nilai tambah di mata orang-orang. Sampai sini masih mau bilang kalau kita setara?
Kalau laki-laki telat nikah apakah dibilang perjaka tua? Enggak. Tapi kalau perempuan usia 24 tahun belum nikah aja, orang-orang di sekitarnya yang malah lebih ribet kebakaran jenggot. Seolah-olah itu adalah aib paling memalukan di dunia. Dibilang sombong lah, perawan tua lah, pokoknya ngeselin banget deh. Padahal kalau peradaban kita mau maju, kita butuh perempuan-perempuan hebat seperti mbak Najwa Shihab, kak Gita Savitri dan bu Susi Pujiastuti. Pertanyaannya, gimana perempuan mau punya wawasan yang luas dan berpengaruh kalau dari keluarga dan lingkungannya sendiri banyak ngatur dan mengekang kebebasannya?
Bukannya saya mau ngajak semua perempuan buat ngelawan orang tuanya, tapi kalau mau peradaban kita maju, mau kesetaraan gender terealisasi dengan baik, ya kita-kita juga yang harus mulai aksi. Sekarang liat kemampuan akademik anak-anak bangsa kita, masih jauh ketinggalan sama negara-negara maju seperti Jepang, Amerika, dan Singapura. Dan kalau diliat dari tingkat pendidikan penduduknya emang kita masih ketinggalan juga, karena banyak yang terjebak dalam pemikiran kuno tadi. Seorang perempuan kelak akan menjadi ibu, dan ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya kelak. Jadi berhenti menilai perempuan-perempuan yang mengejar pendidikan tinggi itu sombong, melawan kodrat, atau apalah. Kalau nanti mereka jadi seseorang yang berdampak baik bagi bangsa ini, kita-kita juga kan yang bangga? Emangnya mau anak-anak kita nanti jadi generasi yang bodoh? Enggak kan?
Untuk semua perempuan yang baca artikel ini, terbanglah sebebas-bebasnya. Kalau terus-terusan mikirin omongan orang pasti sulit buat maju, fokus aja sama tujuan hidup kalian. Bercita-citalah setinggi-tingginya. Yakinkan orang tua kalian kalau kalian bisa, kalian mampu. Buktikan pada dunia kalau perempuan layak untuk dihargai, layak bersuara, layak didengar. Mulai sekarang, kasih edukasi sedikit demi sedikit buat mereka yang masih berpikir kalau nikah muda itu lebih penting daripada sekolah tinggi. Zaman udah modern, sekarang apa-apa serba canggih. Kalian bisa menuangkan kumpulan pemikiran-pemikiran brilian kalian lewat tulisan, lewat konten-konten edukasi di instagram, tiktok, atau youtube. Teruslah bersuara sampai tiba waktunya mereka mendengar.
Komentar
Posting Komentar