Sepatu Baru Untuk Ibu (mini cerpen)
Dari sela-sela pintu kamar bisa jelas kulihat ibu sedang memarahi Kiki, adikku. Matanya memerah bagaikan bola api yang sewaktu-waktu siap membakarnya kalau melawan. Tadi siang kiki kedapatan mencuri sepatu gurunya di sekolah, aneh juga. Untuk apa dia mencuri sepatu guru? Apalagi jenis sepatu hak untuk perempuan. Dari ruang tamu yang tak terlampau jauh dari kamarku bisa dengan jelas kudengar tiap kalimat yang ibu katakan pada kiki.
“umurmu baru sepuluh tahun tapi sudah pandai mencuri. Mau jadi apa kamu, hah?” ucap ibu dengan nada tinggi. Kiki hanya diam tertunduk.
“bikin ibu malu saja kamu …. “ ibu menghela napas panjang. Kiki masih diam.
“apa selama ini uang jajan yang ibu kasih itu kurang? Kurang hah? Lagian buat apa mencuri sepatu hak? … jawab!!” kalimatnya seakan tanpa jeda, dan bisa ditebak, Kiki masih tak bergeming. Ia berlalu ke kamarnya dengan tangis yang meledak. Tak pernah kulihat ia sesendu itu, pun dengan kemarahan ibu tak pernah semarah itu.
“ibu belum selesai … malah pergi, gak sopan sekali kamu.” Wajahnya tampak kusut lalu ibu duduk sambil menangis tersedu-sedu.
Aku mencoba menenangkannya. Memang tak gampang membesarkan dua orang anak seorang diri, tanpa suami. Ayahku telah meninggal saat usia kiki 3 tahun, dan saat itu aku baru kelas 3 SD. Dan sejak saat itu, hari-hari kami tak seindah dulu. Ayah, kami merindukanmu.
Aku memeluk ibu erat sekali, dapat kurasakan air matanya membasahi bajuku. Ia Nampak begitu rapuh.
...
Setiap hari adalah hari yang menyenangkan, tapi itu ketika ayah masih ada. Ia selalu punya cara untuk membuat kami merasa aman dan bahagia. Saat aku kecil, ayah pernah membawa kami ke rumah nenek di kampung. Rumah yang kini aku rindukan, rumah yang pernah menjadi saksi bisu bagaimana seorang Tiara kecil menghabiskan masa-masa liburannya. Ayahku selalu mengajarkan kesederhanaan, sopan santun, dan jujur dalam bersikap. Maka tak heran ibu marah besar kepada Kiki saat ia kedapatan mencuri sepatu. Mungkin ia merasa telah gagal mendidiknya.
“kelak di akhirat, semua yang kita miliki dan perbuat akan dipertanggungjawabkan. Lihatlah orang-orang kaya sekarang ... mereka mendapatkan kekayaan itu dengan cara yang tidak jujur, korupsi, sogok menyogok, menipu, mencuci uang, menggelapkan uang perusahaan. Semua itu termasuk tindakan tidak jujur. Untuk apa mengejar sesuatu yang tak dibawa mati? lagian nanti ayah susah ditanya-tanya malaikatnya dong ... hahahahahaha.” Itulah ayah yang selalu bijak, tapi tanpa menghilangkan sisi humorisnya. Ah aku sungguh rindu akan hal itu. Rindu cerita-cerita lucu ayah, rindu nenekku yang sekarang sudah sama-sama tiada, rindu nasi liwet buatan nenek yang seenak masakan koki profesional, dan segala hal menyangkut masa kecilku.
Malam harinya, di rumahku, sepi sekali. Tak ada suara televisi, tak ada Kiki yang biasanya mengerjakan tugas sekolah di ruang tengah dibantu oleh aku dan ibu. Hanya terdengar suara jangkrik dari luar sana. Aku memandangan bulan purnama dan bintang-bintang yang bersinar terang dari jendela kamarku. Sesekali aku membayangkan wajah ayahku sedang tersenyum dari atas sana.
Esoknya aku bangun kesiangan karena itu adalah hari minggu. Ibu memaksaku bangun. Ada apa? Tanyaku dalam hati. Seolah mendengar suara hatiku, ibu lantas berkata:
“kita ke rumah bu guru hari ini, kamu ikut, ya!” kini ibu terlihat sedikit lebih tenang.
“iya bu, Tiara mandi dulu.”
Saat sarapan, Kiki tak bergabung dengan kami di meja makan. Ia hanya duduk di teras, mungkin belum bisa melupakan kejadian kemarin, entah.
Pukul delapan kami sudah sampai di rumah bu guru yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah kami. Rumah sederhana dengan taman yang cukup luas di depannya, cukup untuk acara kumpul-kumpul keluarga saat idul fitri.
Kami dipersilakan masuk, ia menjamu kami dengan hangat dan ramah.
“apakah ada yang bisa saya bantu, bu?” tanya bu guru itu dengan senyum.
“hmm … kedatangan kami ke sini ingin meminta maaf soal kejadian kemarin bu ….” Kini kata-kata ibu terdengar begitu formal.
“oh, soal itu … namanya juga anak-anak, bu.” Lalu entah mengapa Kiki mengangis. Menangis sejadi-jadinya, kami heran. Lalu di sela tangisnya yang tersedu-sedu itu ia berkata lirih:
“ayah sudah lama tiada, aku gak mau kehilangan ibu … dan andai itu terjadi, aku gak tau gimana nasib Kiki sama kak Tiara … kata bu guru, surga itu di telapak kaki ibu. Aku cuma mau melindungi telapak kaki ibu, aku gak punya sepatu … terpaksa aku mencuri, bu.”
Mendengar perkataannya, aku sendiri tersentuh. Tapi kupikir bu guru dan ibuku pun begitu. Kami menangis, kupeluk adikku juga ibu. Sedangkan bu guru tersenyum di sela tangisannya. Aku tak ingin kehilangan adik dan ibuku, tuhan, tolong jangan ambil mereka.
Dunia selalu adil. Saat kau kehilangan, tuhan telah menyiapkan orang-orang baru sebagai penganti. Kini, meski tanpa ayah yang selalu mengajarkan kejujuran aku sadar bahwa ibu telah membesarkan Kiki yang begitu menyayanginya. Hari itu, aku memeluk mereka erat-erat seakan tak ingin berpisah selamanya.
Purwakarta, 28 April 2020
Komentar
Posting Komentar